09102010
A. Siraman
Dalam prosesi pernikahan adat Jawa, biasanya sehari sebelum berlangsungnya akad nikah dan panggih, kedua calon mempelai mengadakan acara pengajian dan siraman di kediaman masing-masing mempelai. Acara pengajian tentunya bertujuan untuk memohon doa restu kepada Allah SWT agar semua rangkaian acara pernikahan dapat berlangsung dengan lancar.
Setelah acara pengajian, serangkaian upacara adat Siraman dimulai. Sebelum upacara inti Siraman dimulai, biasanya didahului dengan upacara pemasangan Blakatepe dan Tuwuhan. Pada upacara pemasangan Blaketepe dan Tuwuhan ini perlengkapan utama yang harus disiapkan adalah tangga dan baki berisi padi:
Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada anak yang akan menikah sehingga kelak dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga .
Setelah rangkaian siraman kemudian calon pengantin kemudian dipakaikan handuk dan digendong oleh sang Ayah menuju ke tempat yang suci.
Dulangan Kapungkasan memiliki arti suapan terakhir calon pengantin dari orang tuanya. Calon pengantin duduk diapit orang tua. Sebelum upacara Dulang Kapungkasan, Bapak calon pengantin menyerahkan hasil penjualan dawet kepada calon pengantin
Menurut adat Jawa, Malam Midodareni adalah malam menjelang akad nikah dan panggih. Midodareni berasal dari kata widodari. Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa pada malam tersebut, para bidadari dari kayangan akan turun ke bumi dan bertandang ke kediaman calon pengantin wanita, untuk menyempurnakan dan mempercantik pengantin wanita.Well, itu kan mitosnya. Tapi makna Malam Midodareni lebih dalam dari pada itu. Bisa terlihat dari prosesi yang akan dilaksanakan pada Malam Midodareni . Prosesi malam Midodareni antara lain adalah (sesuai urutan) :
2.Tantingan
Begitulah seluruh rangkaian prosesi menjelang pernikahannku.....................dan hatiku deg-degan menunggu datangnya hari esok 101010.........................
Sumber : Majalah Mahligai Edisi Ke- 4 2007, Ibu Kiky Soekanto dari Kamaratih dan Tante Hesty
Blaketepe’ terbuat dari anyaman daun kelapa yang digunakan untuk atap atau peneduh resepsi manton. Tatacara ini mengambil ’wewarah’ atau ajaran Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-raja Mataram. Saat mempunyai hajat menikahkan anaknya Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang kecil tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar rumah diteduhi dengan payon daun kelapa itu.
Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada anak yang akan menikah sehingga kelak dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga .
Tuwuhan terdiri dari :
- Pohon pisang raja yang buahnya sudah masak
Maksud dipilih pisang yang sudah masak adalah diharapkan pasangan yang akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan seperti raja.
- Tebu wulung
Tebu wulung berwarna merah tua sebagai gambaran sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak. Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu beryindak dengan ’kewicaksanaan’ atau kebijakan
- Cengkir Gadhing
Merupakan simbol dari kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan
- Daun randu dan pari sewuli
Randu melambangkan sandang, sedangkan pari melambangkan pangan. Sehingga hal itu bermakna agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya.
- Godhong apa-apa (bermacam-macam dedaunan)
Seperti daun beringin yang melambangkan pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan terbebas dari segala halangan.
Sebelum melakukan prosesi siraman calon pengantin harus melakukan sungkeman kepada Bapak dan Ibu calon pengantin. Acara sungkeman ini dimaksudkan untuk menunjukkan tanda bakti seorang anak kepada orang tua dan dan sekaligus menjadi ajang mencurahkan rasa terima kasih dan permohonan maaf dan doa restu seorang anak kepada orang tua nya.Biasanya pada saat sungkeman ini suasana lumayan mengharu biru. Dan pasti calon pengantin dan orang tua akan banjir air mata. Huhuhuhu...............................
Siraman ini sendiri dilaksanakan untuk menyucikan diri dan juga membuang segala kejelekan Calon Pengantin yang ada, agar calon pengantin dapat memulai hidup baru dengan hati yang bersih dan suci. Siraman dilakukan oleh 9 orang sesepuh termasuk sang Ayah. Jumlah sembilan tersebut menurut budaya Keraton Surakarta untuk mengenang keluhuran Wali Sanga, yang bermakna manunggalnya Jawa dengan Islam. Selain itu angka sembilan juga bermakna ’babahan hawa sanga’ yang harus dikendalikan.
Setelah pini sepuh selesai melakukan siraman. Bapak calon pengantin menuangkan air kendil dan memandu calon pengantin untuk melakukan wudhu. Setelah selesai, ibu pengantin menutup dengan menyiram air kendil. Dan kemudian kendil dijatuhkan sampai pecah sambil mengucap:
NIAT INGSUN ORA MECAH KENDI, NANGIN MECAH PAMORE ANAKKU
Setelah selesai siraman, kemudian dilakukan prosesi potong rikmo / potong rambut. Potongan rambut calon mempelai wanita yang telah dipotong kemudian ditanam di halaman rumah calon pengantin.
Setelah rangkaian siraman kemudian calon pengantin kemudian dipakaikan handuk dan digendong oleh sang Ayah menuju ke tempat yang suci.
Dodol Dawet diambil dari makna cendol yang berbentuk bundar yang merupakan lambang kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan anak. Para Tamu undangan yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengan ’kreweng’ (uang yang terbuat dari tanah liat / pecahan genting) bukan dengan uang asli . Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi. Pada Prosesi ini yang melayani pembeli adalah ibu sedangkan yang menerima pembayaran adalah bapak calon pengantin. Hal ini dimaksudkan untuk mengajarkan kepada anak mereka yang akan menikah tentang bagaimana mencari nafkah sebagai suami istri, harus saling membantu dan berbagi. Dawet ini juga sebagai simbolisasi kalau esok hari pada saat akad nikah dan resepsi, tamu-tamu yang datang akan sebanyak dan seramai cendol dawet tersebut. Hihi..............................
Setelah serangkaian acara tersebut sebagai penutup adalah prosesi dimana Bapak calon pengantin memotong tumpeng Kamulyan dan diberikan ke Ibu calon pengantin. Potongan tumpeng tersebut kemudian akan disuapi kepada calon pengantin pada saat acara Dulangan Kapungkasan.
Dulangan Kapungkasan memiliki arti suapan terakhir calon pengantin dari orang tuanya. Calon pengantin duduk diapit orang tua. Sebelum upacara Dulang Kapungkasan, Bapak calon pengantin menyerahkan hasil penjualan dawet kepada calon pengantin
B. Widodareni
Menurut adat Jawa, Malam Midodareni adalah malam menjelang akad nikah dan panggih. Midodareni berasal dari kata widodari. Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa pada malam tersebut, para bidadari dari kayangan akan turun ke bumi dan bertandang ke kediaman calon pengantin wanita, untuk menyempurnakan dan mempercantik pengantin wanita.Well, itu kan mitosnya. Tapi makna Malam Midodareni lebih dalam dari pada itu. Bisa terlihat dari prosesi yang akan dilaksanakan pada Malam Midodareni . Prosesi malam Midodareni antara lain adalah (sesuai urutan) :
1. Jonggolan / Nyantri
Jonggolan / Nyantri adalah datangnya calon pengantin pria ke tempat calon mertua. ‘Njonggol’ diartikan sebagai menampakkan diri. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa dirinya dalam keadaan sehat dan selamat, dan hatinya telah mantap untuk menikahi putri mereka.
Pada saat Malam Midodareni calon pengantin pria memberikan calon pengantin wanita berupa bingkisan yang berisi semua kebutuhan sehari-hari calon pengantin wanita. Bingkisan ini yang biasa disebut Seserahan Dan harus dalan jumlah ganjil.
2.Tantingan
Setelah calon pengantin pria datang menunjukkan kemantapan hatinya dan diterima niatnya oleh keluarga calon pengantin wanita saatnya calon pengantin wanita (sekali lagi) ditanya oleh kedua orang tuanya tentang kemantapan hatinya.Pada malam midodareni calon pengantin wanita hanya diperbolehkan berada di dalam kamar pengantin. Dan yang dapat melihat hanya saudara dan tamu yang wanita saja. Para Gadis dan Ibu-ibu.
Kedua orangtua mendatangi calon pengantin wanita di dalam kamar, menanyakan kemantapan hatinya untuk berumah tangga. Maka calon pengantin wanita akan menyatakan ikhlas menyerahkan sepenuhnya kepada orangtua
3. Pembacaan Catur Wedha Catur Wedha adalah wejangan yang disampaikan oleh calon bapak mertua / bapak calon pengantin wanita kepada calon pengantin pria. Catur Wedha ini berisi empat pedoman hidup. Diharapkan Catur Wedha ini menjadi bekal untuk calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga nanti.
4.Wilujengan Majemukan
Wilujengan Majemukan adalah silaturahmi antara keluarga calon pengantin pria dan wanita yang bermakna kerelaan kedua pihak untuk saling berbesanan. Selanjutnya ibu calon pengantin wanita menyerahkan angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang, orang tua calon pengantin wanita memberikan kepada calon pengantin pria :
- Kancing gelung : seperangkat pakaian untuk dikenakan pada upacara panggih
- Sebuah pusaka berbentuk dhuwung atau keris, yang bermakna untuk melindungi keluarganya kelak.
Begitulah seluruh rangkaian prosesi menjelang pernikahannku.....................dan hatiku deg-degan menunggu datangnya hari esok 101010.........................
Sumber : Majalah Mahligai Edisi Ke- 4 2007, Ibu Kiky Soekanto dari Kamaratih dan Tante Hesty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar